A. Definisi Fakta Sosial.
Adalah setiap cara bertindak yang umumnya terdapat dalam
suatu masyarakat tertentu yang memiliki eksistensinya sendiri terlepas dari
manifestasi individu. Keharusan dalam mengikuti adat istiadat, sopan santun,
dan tata cara penghormatan yang lazim dilakukan sebagai seorang anggota
masyarakat merupakan suatu hubungan antar individu dengan individu lain dalam
suatu masyarakat. Berbagai tindakan individu dalam melakukan hubungan dengan
anggota masyarakat lain yang dipedomani oleh norma-norma dan adat istiadat
seseorang sehingga ia melakukan hubungan-hubungan terpola dengan anggota
masyarakat lain tersebut dinamakan fakta social.
Fakta social yang dimaksud di atas merupakan salah atu
konsep dari sosiologi; konsep dasar yang berhubungan dengan keberadaan individu
di masyarakat. Memahami fakta social dapat membantu memberikan penjelasan
mengenai latar belakang peranan agama dalam masyarakat yang menjadi acuan norma
social bagi individu untuk melakukan berbagai tindakan.
Istilah fakta social pertama kali diperkenalkan oleh seorang
ahli sosiologi Perancis, Emile Durkheim [1] Menurutnya, fakta social adalah suatu cara
bertindak yang tetap atau sementara, yang memiliki kendala dari luar; atau
suatu cara bertindak yang umum dalam suatu masyarakat yang terwujud dengan
sendirinya sehingga bebas dari manifestasi individual. Dengan demikian, menurut
Durkheim, sosiologi merupakan ilmu yang melakukan kajian-kajian tentang
fakta-fakta social. Berdasarkan anggapan Durkheim itu, fakta social memiliki
empat ciri atau karakteristik yang membedakan dari yang bukan fakta social,
yaitu:
a.
suatu
wujud di luar individu;
b. melakukan hambatan atau
membuat kendala terhadap individu;
c.
bersifat
luas atau umum;
d. bebas dari manifestasi atau
melampaui manisfestasi individu;
Fakta social dijabarkan dalam beberapa gejala social yang
abstrak, misalnya hokum, adat kebiasan, norma, bahasa, agama, dan tatanan
kehidupan lainnya yang memiliki kekuasaan tertentu untuk memaksa bahwa
kekuasaan itu terwujud dalam kehidupan masyarakat di luar kemampuan individu
sehingga individu menjadi tidak Nampak. Yang dominan dalam hal ini adalah
masyarakat.
Fakta social berangkat dari asumsi umum bahwa gejala social
itu riil dan mempengaruhi kesadaran individu serta perilakunya yang berbeda
dari karakteristik psikologis, biologis, atau karakteristik individu lainnya.
Lebih lagi, karena gejala social merupakan fakta riil, maka gejala-gejala itu
dapat dipelajari dengan metode empiris, yang memungkinkan satu ilmu tentang
masyarakat dapat dikembangkan.
Sebagai suatu gejala social, fakta social berbeda dengan
gejala individual. Sebagai gejala social, ia mempunyai tiga karakteristik
utama:
Pertama, fakta social bersifat eksternal
terhadap individu. Artinya, fakta social merupakan cara bertindak, berpikir,
dan berperasaan yang memperlihatkan sifat patut dilihat sebagai sesuatu yang
berada di luar kesadaran individu.
Kedua, fakta social itu memaksa individu.
Seorang individu dipaksa, dibimbing, diyakinkan, didorong, atau dipengaruhi
oleh pelbagai fakta social dalam lingkungan masyarakat. Artinya, fakta social
mempunyai kekuatan untuk memaksa individu untuk melepaskan kemauannya sendiri
sehingga eksistensi kemauannya terlingkupi oleh semua fakta social.
Ketiga, fakta social itu bersifat umum atau
tersebar secara meluas dalam suatu masyarakat. Artinya, fakta social itu milik
bersama, milik semua individu yang ada di masyarakat tersebut. Fakta social
benar-benar bersifat kolektif sehingga pengaruhnya pada individu itu juga
merupakan hassil dari kolektifnya ini
Selanjutnya fakta social dinyatakan sebagai sesuatu (thing)
yang berbeda dengan ide; sesuatu yang menjadi obyek penelitian seluruh ilmu
pengetahuan. Ia tidak bisa dipahami melalui kegiatan mental murni (spekulatif).
Untuk memahaminya diperlukan penyusun data real di luar pemikiran manusia. Arti
penting pernyataan Durkheim tadi terletak pada usahanya untuk menerangkan bahwa
kata sosial tidak dapat dipelajari melalui instrospeksi. Ia selanjutnya
mendefinisikan fakta sosial sebagai cara-cara bertindak, berfikir, dan merasa
yang berada di luar individu dan dimuati dengan sebuah kekuatan memaksa yang
mengontrol individu. Fakta sosial harus diteliti di dalam dunia nyata sebagaimana
orang mencari sesuatu yang lainnya.
B. Teori fakta sosial Durkheim tentang
agama.
Teori Durkheim mengenai agama pada umumnya dijelaskan secara
rinci dalam bukunya The Elementary Form of Religious Life dan division
of Labour. Menurutnya bahwa masyarakat manusia secara progresif telah
berubah dari corak sederhana yang mirip kehidupan di perkemahan, dimana tidak
ada sama sekali diferensiasi peranan selain daripada diferensiasi berdasarkan
umur dan jenis kelamin, sampai corak yang sangat rumit di mana sangat banyak
dan beragam tugas khusus dilaksanakan oleh berbagai macam anggota masyarakat.
Sebagaimana para evolusionis sebelumnya, dia berusaha
mencari asal usul agama dengan menganalisis agama pada masyarakat yang diduga
paling primitive, dengan kenyakinan bahwa perubahan-berubahan beruntun dalm
bentuk tidak akan mengubah hakikatnya secara radikal. Dia juga berkenyakinan
bahwa peningkatan pada beberapa masyarakat yang dikenal dari tingkatan
sederhana sampai tingkatan rumit merupakan proses evolusi sosial, dan dia yakin
juga bahwa agama bisa dikaji dengan cara baru oleh para ahli sosiologi, sebagai
fakta sosial.
Dalam membahas teori Durkheim, sebaiknya kita ingat bahwa
merupakan kebenaran bagi sosiologinya bahwa aturan-aturan dan nilai-nilai dalam
masyarakat benar-benar ada yang bagi para anggotanya merupakan suatu yang ada diluar jangkauan mereka. Setiap anggota
masyarakat menganggap aturan-aturan dan nilai-nilai itu memiliki keberadaan
yang tidak terikat ruang waktu dan memiliki kekuatan untuk mempertahankan dan
meningkatkannya. Namun agama merupakan pengakuan atas ketergantungan pada
kekuatan tertinggi, pengakuan yang diwujukan dalam bentuk peribadatan yang
memungkinkan pelakunya untuk menempatkan dirinya dalam hubungan yang benar dengan
kekuatan ini untuk mendapatkan berbagai kenikmatan dan menghindari bahaya
darikekuatan tersebut. Hal-hal sacral dalam agama sebenarnya merupakan
lambang-lambng masyarakat yang mengamalkan agama itu.
Durkheim mengembangkan argument yang menyatakan bahwa
orang-orang yang memiliki teknologi primitif menghabiskan sebagian waktu mereka
hidup berpencar-pencar dalam bentuk kelompok kecil dalam wilayah yang luass.
Karena adnya kesempatan yang sedikit untuk bertemu maka menimbulkan rasa
kebersamaan yang begitu kuat dan berubah menjadi suatu peribadatan dan
benda-benda apapun yang menjadi inti peribadatan dalam pikiran pelakunya diberi
kekuatan sacral, sehingga menimbulkan berbagai perasaan kekhitmatan keagamaan
ketika menghadapi kekuatan misterius. [2]
Salah satu analisis sosiologis yang dipahami Emile Durkheim
tentang peranan social agama dengan jalan mempelajari bentuk-bentuknya yang
paling sederhana yaitu menganalisis ritual-ritual keagamaan totemic
arunta. Durkheim mencatat bahwa di kalangan orang-orang arunta, ritual agama
adalah bagian terpenting daripada kehidupan social. Fakta bahwa orang-orang
arunta menyembah kekuasaan-kekuasaan supernatural bukanlah merupakan apa yang
paling mengenai kegiatan mereka. Apakah mereka tahu apa tidak? Mereka
sesungguhnya sedang menyembah kekuasaan masyarakat mereka sendiri, kekuasaan
masyarakat atas setiap individu. Ritual keagamaan mereka mendemonstrasikan dan
menyimbolkan perlunya individu-individu menyerahkan diri mereka kepada kehendak
kelompok. Durkheim berpendapat bahwa hal itu dilakukan setiap agama bukan hanya
oleh kelompok arunta saja. Ia menyimpulkan bahwa komponen ritualistic agamalah
yang paling penting karena mampu mengikat kesatuan komunitas beragama.[3]
Pemikiran Durkheim tentang sosiologi adalah ilmu yang
mempelajari tentang fakta sosial atau mempelajari masyarakat secara luas yang
termasuk dalam kajian sosiologi makro. Sedangkan masyarakat menurut Durkheim
adalah keseluruhan dari pola interaksi yang sangat kompleks sifatnya. Durkheim
dalam sepanjang hidupnya memberikan perhatiannya terhadap solidaritas dan
integrasi. Perhatian yang besar terhadapnya muncul dari kesadarannya bahwa
berkurangnya pengaruh agama tradisional yang merusakkan dukungan tradisional
yang utama untuk standar moral bersama yang membantu mempersatukan masyarakat
di masa lampau. Solidaritas dan integarasi merupakan permasalahan substansif
dalam teori-teori Durkheim. Masalah yang utama bagi Durkheim adalah masalah
sentral dalam analisa sosiologi yang menjelaskan tentang keteraturan sosial
yang mendasar dan berhubungan dengan proses-proses sosial yang meningkatkan
integrasi dan solidaritas. Dan juga merupakan masalah pokok dalam prespektif
fungsional sekarang ini. Fungsionalisme juga menekankan integrasi dan
solidaritas serta pentingnya memisahkan analisa tentang tujuan dan motivasi
yang sadar dari individu.
Fakta sosial, menurut Durkheim, terdiri dari dua macam:
1. bentuk materiel; yaitu sesuatu yang
dapat disimak, ditangkap dan diobservasi. Fakta sosial yang terbentuk material
ini adalah bagian dari dunia nyata (external world). Contohnya,
arsitektur dan norma hukum.
2. Bentuk nonmaterial; yaitu sesuatu
yang dianggap nyata. Fakta sosial jenis ini merupakan fenomena yang bersifat
intersubjektif yang hanya dapat muncul dari dalam kesadaran manusia. Contohnya,
egoism, altruisme, dan opini.
Adapun menurut tipenya, fakta sosial
– yang menjadi pusat perhatian sosiologi – terdiri dari struktur sosial dan
pranata sosial. Struktur sosial adalah jaringan hubungan sosial dimana
interaksi sosial berproses dan menjadi terorganisir, sehingga dapat dibedakan
posisi-posisi sosial dari individu dan sub kelompok. Sedangkan pranata sosial
adalah antar hubungan norma-norma dan nilai-nilai yang mengitari aktivitas
manusia – yang dalam bahasa Inggris disebut institution – seperti
keluarga, pemerintahan, ekonomi, pendidikan, agama, dan ilmu pengetahuan.[4]
Durkhem membicarakasn wilayah kajian
yang sesungguhnya dari sosiologi yaitu fakta social, sesuatu yang umum
yang mencakup keseluruhan masyarakat dan berdiri sendiri serta terpisah dari
manivestasi individu. Contoh fakta social adalah hokum, moral, keyakinan,
kebiasaan, dan mode. Terakhir, Durkheim menggunakan istilah institusi dengan
arti yang sama tentang bagimana fakta social, yang berarti keyakinan dan aturan
prilaku yang dilembagakan oleh masyarakat.
Dalam The Rules Of Sociological Method, ketika mendiskusikan fakta
social, ia melihat fungsi sebagai kebutuhan umum dari organism social,
penjelasan mengenai fakta social lebih mengarah pada sebab-sebab sosial
yang non social. Pembahasan Durkheim tentang hukuman memberikan contoh
yang bagus akan kekuatan dan kelemahan analisis fungsional. Hukuman dianggap
reaksi social atas kejahatan yang tidak hanya memberikan fungsi untuk
menanggulangi kejahatan tetapi juga untuk mempertahankan sentiment-sentimen
kelompok, sehubungan dengan penolakan masyaarakat atas kejahatan. Sumbangan
terpenting atas fungsionalisme adalah salah satu karyanya, The Elementary
Forms Of The Religious Life. Ia mengemukakan bahwa agama pada suku
yang sangat primitive merupakan suatu kekuatan integrasi yang sangat
kuat. Hal ini sejalan dengan pentingnya peranan nilai-nilai dalam system social
sebagaimana dipahami oleh para fungsional. Durkheim mengartikan nilai sebagai
“konsep kebaikan yang diterima secara umum” atau “kenyakinan yang mensahihkan
keberadaan dan pentingnya struktur social teetentu serta jenis perilaku
tertentu yang ada dalam struktur social tersebut”.[5]
Perspektif sosiologis umum Durkheim ialah bahwa kehidupan
social merupakan suatu tingkat realitas yang tidak dapat diinterprestasikan
dalam hubungan dengan karateristik individu-individu. Ditegaskannya para
sosiolog mempelajari fakta-fakta social, yakni fenomena yang ada terlepas dari
individu-individu dan memasukkan pengaruh pengawasan atas mereka. Durkheim
percaya bahwa fakta-fakta social hanya dapat dijelaskan dalam hubungan
fakta-fakta social lainnya, dan ia menggunakan perspektif sosiologis ini dalam
studi nya mengenai agama.
Agama adalah sesuatu yang terutama social, bukan psikologis.
Agama muncul karena manusia hidup didalam masyarakat, dengan demikian
mengembangkan kebutuhan-kebutuhan dasar tertentu dari akibat kehidupan kolektif
mereka. Agama ada karena dapat memenuhi fungsi-fungsi social tertentu yang tak
dapat depenuhi selain agama. Peranan utamanya, menurut Durkheim, ialah
integrator kemasyarakatan. Agama mengikat orang-orang menjadi satu dengan
mempersatukan mmasyarakat dalam kepercayaan, nilai, dan ritual bersama. Dengan
demikian, agama membantu memelihara masyarakat atau kelompok sebagai suatu
komunitas moral.[6]
BAB. III
PENUTUP
A. Kesimpulan.
1. Berbagai tindakan individu dalam
melakukan hubungan dengan anggota masyarakat lain yang dipedomani oleh
norma-norma dan adat istiadat seseorang sehingga ia melakukan hubungan-hubungan
terpola dengan anggota masyarakat lain tersebut dinamakan fakta social.
2. Fakta sosial, menurut Durkheim,
terdiri dari dua macam:
a.
bentuk
materiel; yaitu sesuatu yang dapat disimak, ditangkap dan diobservasi. Fakta
sosial yang terbentuk material ini adalah bagian dari dunia nyata (external world).
Contohnya, arsitektur dan norma hukum.
b. Bentuk nonmaterial; yaitu sesuatu
yang dianggap nyata. Fakta sosial jenis ini merupakan fenomena yang bersifat
intersubjektif yang hanya dapat muncul dari dalam kesadaran manusia. Contohnya,
egoism, altruisme, dan opini.
DAFTAR PUTAKA
Paul
Doyle Johnson, TEORY SOSIOLOGI KLASIK DAN MODEREN, PT Gramedia, Jakart, 1986
Ishomuddin,
PENGANTAR SOSIOLOGI AGAMA, Ghalia Indonesia, Jakarta selatan,2002
Dadang
khamad, SOIOLOGI AGAMA, PT REMAJA ROSDAKARYA, Bandung, 2002
Betty
R.Scarf, SOSIOLOGI AGAMA, terj. Machun Husein, Prenada Media,
Jakarta Timur,2004.
[1] PAUL
DOYLE JOHNSON, TEORI SOSIOLOGI KLASIK DAN MODERN, penerbit: PT Gramedia, Jakarta,
1986, hal 170-179
[2] Betty
R.Scarf, SOSIOLOGI AGAMA, terj. Machun Husein, Prenada Media,
Jakarta Timur,2004. Hlm.. 18