Rabu, 23 Oktober 2013

FAKTA SOSIAL KAITANNYA DENGAN TEORI DURKHEIM TENTANG AGAMA



A.    Definisi Fakta Sosial.
Adalah setiap cara bertindak yang umumnya terdapat dalam suatu masyarakat tertentu yang memiliki eksistensinya sendiri terlepas dari manifestasi individu. Keharusan dalam mengikuti adat istiadat, sopan santun, dan tata cara penghormatan yang lazim dilakukan sebagai seorang anggota masyarakat merupakan suatu hubungan antar individu dengan individu lain dalam suatu masyarakat. Berbagai tindakan individu dalam melakukan hubungan dengan anggota masyarakat lain yang dipedomani oleh norma-norma dan adat istiadat seseorang sehingga ia melakukan hubungan-hubungan terpola dengan anggota masyarakat lain tersebut dinamakan fakta social.
Fakta social yang dimaksud di atas merupakan salah atu konsep dari sosiologi; konsep dasar yang berhubungan dengan keberadaan individu di masyarakat. Memahami fakta social dapat membantu memberikan penjelasan mengenai latar belakang peranan agama dalam masyarakat yang menjadi acuan norma social bagi individu untuk melakukan berbagai tindakan.
Istilah fakta social pertama kali diperkenalkan oleh seorang ahli sosiologi Perancis, Emile Durkheim [1] Menurutnya, fakta social adalah suatu cara bertindak yang tetap atau sementara, yang memiliki kendala dari luar; atau suatu cara bertindak yang umum dalam suatu masyarakat yang terwujud dengan sendirinya sehingga bebas dari manifestasi individual. Dengan demikian, menurut Durkheim, sosiologi merupakan ilmu yang melakukan kajian-kajian tentang fakta-fakta social. Berdasarkan anggapan Durkheim itu, fakta social memiliki empat ciri atau karakteristik yang membedakan dari yang bukan fakta social, yaitu:
a.       suatu wujud di luar individu;
b.       melakukan hambatan atau membuat kendala terhadap individu;
c.       bersifat luas atau umum;
d.      bebas dari manifestasi atau melampaui manisfestasi individu;
Fakta social dijabarkan dalam beberapa gejala social yang abstrak, misalnya hokum, adat kebiasan, norma, bahasa, agama, dan tatanan kehidupan lainnya yang memiliki kekuasaan tertentu untuk memaksa bahwa kekuasaan itu terwujud dalam kehidupan masyarakat di luar kemampuan individu sehingga individu menjadi tidak Nampak. Yang dominan dalam hal ini adalah masyarakat.
Fakta social berangkat dari asumsi umum bahwa gejala social itu riil dan mempengaruhi kesadaran individu serta perilakunya yang berbeda dari karakteristik psikologis, biologis, atau karakteristik individu lainnya. Lebih lagi, karena gejala social merupakan fakta riil, maka gejala-gejala itu dapat dipelajari dengan metode empiris, yang memungkinkan satu ilmu tentang masyarakat dapat dikembangkan.
Sebagai suatu gejala social, fakta social berbeda dengan gejala individual. Sebagai gejala social, ia mempunyai tiga karakteristik utama:
Pertama, fakta social bersifat eksternal terhadap individu. Artinya, fakta social merupakan cara bertindak, berpikir, dan berperasaan yang memperlihatkan sifat patut dilihat sebagai sesuatu yang berada di luar kesadaran individu.
Kedua, fakta social itu memaksa individu. Seorang individu dipaksa, dibimbing, diyakinkan, didorong, atau dipengaruhi oleh pelbagai fakta social dalam lingkungan masyarakat. Artinya, fakta social mempunyai kekuatan untuk memaksa individu untuk melepaskan kemauannya sendiri sehingga eksistensi kemauannya terlingkupi oleh semua fakta social.
Ketiga, fakta social itu bersifat umum atau tersebar secara meluas dalam suatu masyarakat. Artinya, fakta social itu milik bersama, milik semua individu yang ada di masyarakat tersebut. Fakta social benar-benar bersifat kolektif sehingga pengaruhnya pada individu itu juga merupakan hassil dari kolektifnya ini
Selanjutnya fakta social dinyatakan sebagai sesuatu (thing) yang berbeda dengan ide; sesuatu yang menjadi obyek penelitian seluruh ilmu pengetahuan. Ia tidak bisa dipahami melalui kegiatan mental murni (spekulatif). Untuk memahaminya diperlukan penyusun data real di luar pemikiran manusia. Arti penting pernyataan Durkheim tadi terletak pada usahanya untuk menerangkan bahwa kata sosial tidak dapat dipelajari melalui instrospeksi. Ia selanjutnya mendefinisikan fakta sosial sebagai cara-cara bertindak, berfikir, dan merasa yang berada di luar individu dan dimuati dengan sebuah kekuatan memaksa yang mengontrol individu. Fakta sosial harus diteliti di dalam dunia nyata sebagaimana orang mencari sesuatu yang lainnya.
B.     Teori fakta sosial Durkheim tentang agama.
Teori Durkheim mengenai agama pada umumnya dijelaskan secara rinci dalam bukunya The Elementary Form of Religious Life dan division of Labour. Menurutnya bahwa masyarakat manusia secara progresif telah berubah dari corak sederhana yang mirip kehidupan di perkemahan, dimana tidak ada sama sekali diferensiasi peranan selain daripada diferensiasi berdasarkan umur dan jenis kelamin, sampai corak yang sangat rumit di mana sangat banyak dan beragam tugas khusus dilaksanakan oleh berbagai macam anggota masyarakat.
Sebagaimana para evolusionis sebelumnya, dia berusaha mencari asal usul agama dengan menganalisis agama pada masyarakat yang diduga paling primitive, dengan kenyakinan bahwa perubahan-berubahan beruntun dalm bentuk tidak akan mengubah hakikatnya secara radikal. Dia juga berkenyakinan bahwa peningkatan pada beberapa masyarakat yang dikenal dari tingkatan sederhana sampai tingkatan rumit merupakan proses evolusi sosial, dan dia yakin juga bahwa agama bisa dikaji dengan cara baru oleh para ahli sosiologi, sebagai fakta sosial.
Dalam membahas teori Durkheim, sebaiknya kita ingat bahwa merupakan kebenaran bagi sosiologinya bahwa aturan-aturan dan nilai-nilai dalam masyarakat benar-benar ada yang bagi para anggotanya merupakan suatu yang ada diluar jangkauan mereka. Setiap anggota masyarakat menganggap aturan-aturan dan nilai-nilai itu memiliki keberadaan yang tidak terikat ruang waktu dan memiliki kekuatan untuk mempertahankan dan meningkatkannya. Namun agama merupakan pengakuan atas ketergantungan pada kekuatan tertinggi, pengakuan yang diwujukan dalam bentuk peribadatan yang memungkinkan pelakunya untuk menempatkan dirinya dalam hubungan yang benar dengan kekuatan ini untuk mendapatkan berbagai kenikmatan dan menghindari bahaya darikekuatan tersebut. Hal-hal sacral dalam agama sebenarnya merupakan lambang-lambng masyarakat yang mengamalkan agama itu.
Durkheim mengembangkan argument yang menyatakan bahwa orang-orang yang memiliki teknologi primitif menghabiskan sebagian waktu mereka hidup berpencar-pencar dalam bentuk kelompok kecil dalam wilayah yang luass. Karena adnya kesempatan yang sedikit untuk bertemu maka menimbulkan rasa kebersamaan yang begitu kuat dan berubah menjadi suatu  peribadatan dan benda-benda apapun yang menjadi inti peribadatan dalam pikiran pelakunya diberi kekuatan sacral, sehingga menimbulkan berbagai perasaan kekhitmatan keagamaan ketika menghadapi kekuatan misterius. [2]
Salah satu analisis sosiologis yang dipahami Emile Durkheim tentang peranan social agama dengan jalan mempelajari bentuk-bentuknya yang paling sederhana  yaitu menganalisis ritual-ritual keagamaan totemic arunta. Durkheim mencatat bahwa di kalangan orang-orang arunta, ritual agama adalah bagian terpenting daripada kehidupan social. Fakta bahwa orang-orang arunta menyembah kekuasaan-kekuasaan supernatural bukanlah merupakan apa yang paling mengenai kegiatan mereka. Apakah mereka tahu apa tidak? Mereka sesungguhnya sedang menyembah kekuasaan masyarakat mereka sendiri, kekuasaan masyarakat atas setiap individu. Ritual keagamaan mereka mendemonstrasikan dan menyimbolkan perlunya individu-individu menyerahkan diri mereka kepada kehendak kelompok. Durkheim berpendapat bahwa hal itu dilakukan setiap agama bukan hanya oleh kelompok arunta saja. Ia menyimpulkan bahwa komponen ritualistic agamalah yang paling penting karena mampu mengikat kesatuan komunitas beragama.[3]
Pemikiran Durkheim tentang sosiologi adalah ilmu yang mempelajari tentang fakta sosial atau mempelajari masyarakat secara luas yang termasuk dalam kajian sosiologi makro. Sedangkan masyarakat menurut Durkheim adalah keseluruhan dari pola interaksi yang sangat kompleks sifatnya. Durkheim dalam sepanjang hidupnya memberikan perhatiannya terhadap solidaritas dan integrasi. Perhatian yang besar terhadapnya muncul dari kesadarannya bahwa berkurangnya pengaruh agama tradisional yang merusakkan dukungan tradisional yang utama untuk standar moral bersama yang membantu mempersatukan masyarakat di masa lampau. Solidaritas dan integarasi merupakan permasalahan substansif dalam teori-teori Durkheim. Masalah yang utama bagi Durkheim adalah masalah sentral dalam analisa sosiologi yang menjelaskan tentang keteraturan sosial yang mendasar dan berhubungan dengan proses-proses sosial yang meningkatkan integrasi dan solidaritas. Dan juga merupakan masalah pokok dalam prespektif fungsional sekarang ini. Fungsionalisme juga menekankan integrasi dan solidaritas serta pentingnya memisahkan analisa tentang tujuan dan motivasi yang sadar dari individu.
Fakta sosial, menurut Durkheim, terdiri dari dua macam:
1.      bentuk materiel; yaitu sesuatu yang dapat disimak, ditangkap dan diobservasi. Fakta sosial yang terbentuk material ini adalah bagian dari dunia nyata (external world). Contohnya, arsitektur dan norma hukum.
2.      Bentuk nonmaterial; yaitu sesuatu yang dianggap nyata. Fakta sosial jenis ini merupakan fenomena yang bersifat intersubjektif yang hanya dapat muncul dari dalam kesadaran manusia. Contohnya, egoism, altruisme, dan opini.
Adapun menurut tipenya, fakta sosial – yang menjadi pusat perhatian sosiologi – terdiri dari struktur sosial dan pranata sosial. Struktur sosial adalah jaringan hubungan sosial dimana interaksi sosial berproses dan menjadi terorganisir, sehingga dapat dibedakan posisi-posisi sosial dari individu dan sub kelompok. Sedangkan pranata sosial adalah antar hubungan norma-norma dan nilai-nilai yang mengitari aktivitas manusia – yang dalam bahasa Inggris disebut institution – seperti keluarga, pemerintahan, ekonomi, pendidikan, agama, dan ilmu pengetahuan.[4]
Durkhem membicarakasn wilayah kajian yang sesungguhnya dari sosiologi  yaitu fakta social, sesuatu yang umum yang mencakup keseluruhan masyarakat dan berdiri sendiri serta terpisah dari manivestasi  individu. Contoh fakta social adalah hokum, moral, keyakinan, kebiasaan, dan mode. Terakhir, Durkheim menggunakan istilah institusi dengan arti yang sama tentang bagimana fakta social, yang berarti keyakinan dan aturan prilaku yang dilembagakan oleh masyarakat.
            Dalam The Rules Of  Sociological Method, ketika mendiskusikan fakta social, ia melihat fungsi sebagai kebutuhan umum dari organism social, penjelasan mengenai fakta social lebih mengarah pada sebab-sebab sosial  yang  non social. Pembahasan Durkheim tentang hukuman memberikan contoh yang bagus akan kekuatan dan kelemahan analisis fungsional. Hukuman dianggap reaksi social atas kejahatan yang tidak hanya memberikan fungsi untuk menanggulangi kejahatan tetapi juga untuk mempertahankan sentiment-sentimen kelompok, sehubungan dengan penolakan masyaarakat atas kejahatan. Sumbangan terpenting atas fungsionalisme adalah salah satu karyanya, The Elementary Forms Of  The Religious Life. Ia mengemukakan bahwa agama pada suku yang sangat primitive merupakan suatu kekuatan integrasi  yang sangat kuat. Hal ini sejalan dengan pentingnya peranan nilai-nilai dalam system social sebagaimana dipahami oleh para fungsional. Durkheim mengartikan nilai sebagai “konsep kebaikan yang diterima secara umum” atau “kenyakinan yang mensahihkan keberadaan dan  pentingnya struktur social teetentu serta jenis perilaku tertentu yang ada dalam struktur social tersebut”.[5]
Perspektif sosiologis umum Durkheim ialah bahwa kehidupan social merupakan suatu tingkat realitas yang tidak dapat diinterprestasikan dalam hubungan dengan karateristik individu-individu. Ditegaskannya para sosiolog mempelajari fakta-fakta social, yakni fenomena yang ada terlepas dari individu-individu dan memasukkan pengaruh pengawasan atas mereka. Durkheim percaya bahwa fakta-fakta social hanya dapat dijelaskan dalam hubungan fakta-fakta social lainnya, dan ia menggunakan perspektif sosiologis ini dalam studi nya mengenai agama.
Agama adalah sesuatu yang terutama social, bukan psikologis. Agama muncul karena manusia hidup didalam masyarakat, dengan demikian mengembangkan kebutuhan-kebutuhan dasar tertentu dari akibat kehidupan kolektif mereka. Agama ada karena dapat memenuhi fungsi-fungsi social tertentu yang tak dapat depenuhi selain agama. Peranan utamanya, menurut Durkheim, ialah integrator kemasyarakatan. Agama mengikat orang-orang menjadi satu dengan mempersatukan mmasyarakat dalam kepercayaan, nilai, dan ritual bersama. Dengan demikian, agama membantu memelihara masyarakat atau kelompok sebagai suatu komunitas moral.[6]
                                                                                  


BAB. III
PENUTUP
A.    Kesimpulan.
1.      Berbagai tindakan individu dalam melakukan hubungan dengan anggota masyarakat lain yang dipedomani oleh norma-norma dan adat istiadat seseorang sehingga ia melakukan hubungan-hubungan terpola dengan anggota masyarakat lain tersebut dinamakan fakta social.
2.      Fakta sosial, menurut Durkheim, terdiri dari dua macam:
a.       bentuk materiel; yaitu sesuatu yang dapat disimak, ditangkap dan diobservasi. Fakta sosial yang terbentuk material ini adalah bagian dari dunia nyata (external world). Contohnya, arsitektur dan norma hukum.
b.      Bentuk nonmaterial; yaitu sesuatu yang dianggap nyata. Fakta sosial jenis ini merupakan fenomena yang bersifat intersubjektif yang hanya dapat muncul dari dalam kesadaran manusia. Contohnya, egoism, altruisme, dan opini.



DAFTAR PUTAKA

Paul Doyle Johnson, TEORY SOSIOLOGI KLASIK DAN MODEREN, PT Gramedia, Jakart, 1986
Ishomuddin, PENGANTAR SOSIOLOGI AGAMA, Ghalia Indonesia, Jakarta selatan,2002
Dadang khamad, SOIOLOGI AGAMA, PT REMAJA ROSDAKARYA, Bandung, 2002
Betty R.Scarf, SOSIOLOGI AGAMA,  terj. Machun Husein, Prenada Media, Jakarta Timur,2004.




[1] PAUL DOYLE JOHNSON, TEORI SOSIOLOGI KLASIK DAN MODERN, penerbit: PT Gramedia, Jakarta, 1986, hal 170-179
[2] Betty R.Scarf, SOSIOLOGI AGAMA,  terj. Machun Husein, Prenada Media, Jakarta Timur,2004. Hlm.. 18
[3] Ibid. Hlm. 39
[4] Dadang Kahmad, Sosiologi Agama, (Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, 2002), h. 6.
[5] Dadang Kahmad, SOSIOLOGI AGAMA, penerbit: REMAJA ROSDAKARYA, Bandung, 2002. Hlm. 58-59
[6] Ishomuddin, PENGHANTAR SOSIOLOGI AGAMA, penerbit: GHALIA INDONESIA, Jakarta, 2002. Hlm. 38